Apakah kita pernah berpikir bahwa semua perkara dan kenikmatan duniawi itu, bila kita mendapatkannya dengan jalan yang halal dan sah maka kita tidak akan luput dari hisab (perhitungan) di akhirat nanti. Dan bila kita memperolehnya dengan jalan yang haram dan bathil, maka kita bukan hanya di hisab, tapi juga akan di adzab.
Para pembaca Al-Faruq Media Center (AMC) yang dirahmati Allah, kisah yang dialami oleh Khalifah Hisyam Ibn ‘Abdil Malik berikut ini akan menguak pesan itu untuk kita semua.
Hisyam bin Abdul-Malik atau Abdul Malik bin Marwan (lahir tahun 691 – 743; umur 51–52 tahun) (Arab: هشام بن عبد الملك) adalah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sejak tahun 724 Hijriyah (umur 32–33 tahun) sampai kematiannya pada 743 (selama 18–19 tahun).
Kota Madinah seperti biasa masih tetap dengan ketenangannya. Dan pada hari di mana bertepatan dengan Khalifah Hisyam ibn ‘Abdil Malik tiba di kota Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Dan seperti kebiasaannya, hari itu ia ingin mendengarkan nasehat dari seorang ‘alim ulama. Pilihannya jatuh kepada Abu Hazim.
Tidak lama kemudian, Abu Hazim telah tiba dan menemui sang Khalifah. “Berikan aku sebuah nasehat wahai Abu Hazim, namun persingkatlah nasehatmu,” kata sang Khalifah.
Maka Abu Hazim berkata dan berpesan, ” Takutlah kepada Allah, dan bersikap zuhudlah terhadap dunia. Sebab yang halal akan di gisab dan yang haramnya akan di adzab".
“Engkau benar-benar telah memberikan nasehat singkat yang dalam wahai Abu Hazim,” kata Khalifah yang meresapi betul pesan Abu Hazim. Sekarang silahkan engkau sampaikanlah hajat dan semua yang engkau butuhkan kepada Amirul Mukminin,” lanjut sang Khalifah.
Mendengarkan kalimat sang Khalifah yang terakhir ternyata membuat Abu Hazim terkejut. Namun masih dalam keterkejutannya, ia berkata: “Itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Aku menyampaikan seluruh hajatku kepada Dzat yang segala hajat tidak dapat dipenuhi kecuali oleh-Nya. Maka apa yang Ia berikan kepadaku, akupun merasa cukup dengannya, dan apa yang tidak Ia berikan kepadaku, aku pun merasa ridha dengan ketetapan-Nya. Aku telah merenungkan tentang segala perkara dunia ini, ternyata kuperhatikan ia hanya terbagi menjadi dua; ada yang ditetapkan menjadi bagianku dan ada yang ditetapkan menjadi bagian orang lain. Apa yang telah ditetapkan menjadi bagianku, maka betapapun aku berusaha dengan segala muslihat untuk mendapatkannya namun bila waktunya belum tiba, toh aku tetap tidak akan memperolehnya. Sedangkan apa yang ditetapkan menjadi bagian orang lain, maka untuk apa aku bersikap rakus terhadapnya. Sebab sebagaimana orang lain tidak akan dapat mengambil apa yang menjadi rizki saya, saya pun tidak akan dapat mengambil apa yang menjadi rizki orang lain. Maka untuk apa aku hidup dengan menyiksa diri?”.
Demikianlah Abu Hazim menutup wasiatnya kepada sang Khalifah, Hisyam ibn ‘Abdil Malik. Tapi sesungguhnya, wasiat tersebut adalah wasiat untuk kita semua.
Para pembaca Al-Faruq Media Center (AMC) yang dirahmati Allah, kisah yang dialami oleh Khalifah Hisyam Ibn ‘Abdil Malik berikut ini akan menguak pesan itu untuk kita semua.
Hisyam bin Abdul-Malik atau Abdul Malik bin Marwan (lahir tahun 691 – 743; umur 51–52 tahun) (Arab: هشام بن عبد الملك) adalah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sejak tahun 724 Hijriyah (umur 32–33 tahun) sampai kematiannya pada 743 (selama 18–19 tahun).
Kota Madinah seperti biasa masih tetap dengan ketenangannya. Dan pada hari di mana bertepatan dengan Khalifah Hisyam ibn ‘Abdil Malik tiba di kota Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Dan seperti kebiasaannya, hari itu ia ingin mendengarkan nasehat dari seorang ‘alim ulama. Pilihannya jatuh kepada Abu Hazim.
Tidak lama kemudian, Abu Hazim telah tiba dan menemui sang Khalifah. “Berikan aku sebuah nasehat wahai Abu Hazim, namun persingkatlah nasehatmu,” kata sang Khalifah.
Maka Abu Hazim berkata dan berpesan, ” Takutlah kepada Allah, dan bersikap zuhudlah terhadap dunia. Sebab yang halal akan di gisab dan yang haramnya akan di adzab".
“Engkau benar-benar telah memberikan nasehat singkat yang dalam wahai Abu Hazim,” kata Khalifah yang meresapi betul pesan Abu Hazim. Sekarang silahkan engkau sampaikanlah hajat dan semua yang engkau butuhkan kepada Amirul Mukminin,” lanjut sang Khalifah.
Mendengarkan kalimat sang Khalifah yang terakhir ternyata membuat Abu Hazim terkejut. Namun masih dalam keterkejutannya, ia berkata: “Itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Aku menyampaikan seluruh hajatku kepada Dzat yang segala hajat tidak dapat dipenuhi kecuali oleh-Nya. Maka apa yang Ia berikan kepadaku, akupun merasa cukup dengannya, dan apa yang tidak Ia berikan kepadaku, aku pun merasa ridha dengan ketetapan-Nya. Aku telah merenungkan tentang segala perkara dunia ini, ternyata kuperhatikan ia hanya terbagi menjadi dua; ada yang ditetapkan menjadi bagianku dan ada yang ditetapkan menjadi bagian orang lain. Apa yang telah ditetapkan menjadi bagianku, maka betapapun aku berusaha dengan segala muslihat untuk mendapatkannya namun bila waktunya belum tiba, toh aku tetap tidak akan memperolehnya. Sedangkan apa yang ditetapkan menjadi bagian orang lain, maka untuk apa aku bersikap rakus terhadapnya. Sebab sebagaimana orang lain tidak akan dapat mengambil apa yang menjadi rizki saya, saya pun tidak akan dapat mengambil apa yang menjadi rizki orang lain. Maka untuk apa aku hidup dengan menyiksa diri?”.
Demikianlah Abu Hazim menutup wasiatnya kepada sang Khalifah, Hisyam ibn ‘Abdil Malik. Tapi sesungguhnya, wasiat tersebut adalah wasiat untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar