Sabtu, 31 Maret 2018

Bagaimana Hukum Berdoa Di Kuburan ?

IMAM ASY SYAFI'I MENGGUGAT SYAFI'IYAH : Hukum Membaca Al Qur'an, Sholat, dan Berdoa di Kuburan, serta Hukum Kirim Pahala kepada Mayit
Akhir–akhir ini makin banyak kita jumpai para peziarah kubur tidak hanya datang berziarah mendo’akan sang mayit lalu menjadikan ziarah kubur sebagai sarana untuk mengingat kematian. Akan tetapi, di antara mereka banyak yang menyempatkan diri untuk membaca beberapa ayat atau surat dari Al-Qur’an, bahkan ada di antara mereka yang berusaha mengkhatamkan Al-Qur’an di sisi kubur yang dianggap keramat. Alasan mereka bervariasi, ada yang sekedar ikut–ikutan, ada yang mengatakan bahwa tempat itu mustajab (do’a mudah terkabul) bahkan ada yang mengatakan ini adalah sunah Nabi. kami ingin memaparkan penjelasan para ulama dalam masalah ini dan menjawab syubhat–syubhat yang sempat dilontarkan oleh para penggemar ritual ini, mudah–mudahan Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua.


1. BILA KUBURAN DI AGUNGKAN

“Ketahuilah, sesungguhnya orang–orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan Nabi–Nabi mereka dan orang–orang shaleh mereka sebagai masjid. Maka janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut!” (HR. Muslim dan ath-Thabrani)

Yang dapat dipahami dari ungkapan “menjadikan kuburan sebagai masjid” ada tiga pengertian, yaitu:

• Pertama:
Shalat di atas kuburan, dengan pengertian sujud diatasnya.

Imam ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab az-Zawazir (1/121) berkata:

“Menjadikan kuburan sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya”.

Imam ash-Shan’aniy dalam kitab Subul as-Salam (1/214) berkata:

“Menjadikan kuburan sebagai masjid lebih umum dari sekedar shalat dengan menghadapnya atau shalat di atasnya.
Makna atau pengertian pertama ini didukung oleh beberapa hadits berikut:
Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah kalian shalat menghadap kearah kuburan dan jangan pula shalat diatasnya.” (HR. Ath-Thabraniy)

Dari Abu Sa’id al-Khudry, bahwa Rasulullah telah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan, duduk diatasnya ataupun shalat di atasnya (HR. Abu Ya’la)

Kemudian dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW melarang shalat menghadap kearah kuburan (HR. Ibnu Hibban).

• Kedua:
Sujud dengan menghadap kearahnya dan menjadikannya kiblat dalam shalat dan do’a.

Imam al-Manawiy dalam kitab Faydh al-Qadir (1/121) berkata:

“Maksudnya mereka menjadikan kuburan para Nabi tersebut sebagai arah kiblat mereka dengan keyakinan yang salah. Dan menjadikan kuburan sebagai masjid menurut keharusan pembangunan masjid diatasnya dan sebaliknya. Ini menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebih–lebihan dalam pengagungan”.
Imam al-Baidhawiy berkata:
“Orang–orang Yahudi bersujud kepada kuburan para Nabi sebagai bentuk pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, mereka juga menghadap ke kuburan dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, yang berarti telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut”.

Makna atau pengertian kedua ini secara jelas dipahami dari sabda Rasulullah SAW:

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadap kearahnya”. (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’iy, at-Tirmidzy, Ahmad dan al-Baehaqi).

Imam Ali al-Qariy dalam al-Mirqah (2/372), memberikan alasan turunnya larangan tersebut seraya berkata:

“Pendirian masjid di atas kuburan mengandung pengagungan yang berlebih–lebihan, bahkan dapat sampai tingkat penyembahan. Jika pengagungan benar-benar ditujukan kepada kuburan atau penghuninya, maka yang melakukannya sudah kafir. Oleh karena itu, menyerupai tindakannya adalah makruh, dan kemakruhannya masuk kategori haram. Yang termuka dalam pengertian tersebut atau lebih parah dari itu adalah jenazah yang diletakkan dikiblat orang–orang shalat. Dan itulah yang pernah menimpa penduduk Mekkah, dimana mereka pernah meletakkan jenazah di sisi Ka’bah, lalu mereka shalat menghadap ke arahnya.

• Ketiga:
Mendirikan masjid di atas kuburan dan mengerjakan shalat di dalam masjid yang didirikan diatas kuburan tersebut.

Makna yang ketiga dari ungkapan “Menjadikan kuburan sebagai masjid” maka imam al-Bukhari telah menyampaikannya, di mana beliau telah memberikan judul dalam kitab haditsnya dengan: Bab Ma Yukrahu min ittikhadh al-Masajid alaa al Qubur (bab dimakruhkan membangun masjid di atas kuburan).
Dengan demikian, beliau telah mengisyaratkan bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki konsekuensi larangan membangun masjid di atasnya. Dan ini sangat jelas sekali. Hal inipun telah dengan gamblang disampaikan oleh al-Manawiy sebagaimana telah disebutkan:
Dalam menjelaskan hadits tersebut di atas, Ibnu Hajar bekata: al-Karmaniy berkata: “Kandungan hadits ini adalah larangan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Makna dari hal tersebut adalah larangan menjadikan masjid di atas kuburan. Pengertian keduanya berbeda, namun keduanya berkaitan satu sama lain, meskipun keduanya berbeda dalam pengertian“.

Dari sini kita semua mengetahui bahwa sama sekali tidak ada perbedaan antara pembangunan masjid di atas kuburan dengan menempatkan kuburan di dalam masjid, karena keduaya sama–sama diharamkan. Sebab yang diperingatkan adalah satu. Oleh karena itu, al-Hafizh al-Iraqi berkata:

“Seandainya seseorang membangun masjid dengan maksud kelak akan diletakkan kuburan di sebuah tempat (sudut) di masjid tersebut maka hal itu sudah masuk ke dalam laknat. Bahkan diharamkan pula mengubur jenazah di dalam masjid, meskiipun dia telah memberi satu syarat pembangunan bagi masjid tersebut, yaitu agar dia dimakamkan di dalamnya, maka syaratnya tersebut tidak sah, Karena sangat jelas bertentangan dengan tanah yang diwakafkannya, yaitu untuk dibangun masjid.

Semua pendapat di atas menyebutkan bahwa tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid yang disebutkan di dalam hadits–hadits terdahulu mencakup ketiga pengertian di atas.

Diantara Qawl (ucapan) Imam asy-Syafi’iy dan para Ulama asy-Syafi’iyah tentang kuburan.

“Aku membenci untuk dibangun masjid di atas kuburan atau ditinggikannya, atau sholat di atasnya dan kuburan tersebut tidak boleh ditulis nama atau shalat menghadap kepadanya”. (al-Umm: 1/276)

2. HUKUM MEMBACA AL QUR'AN DI KUBURAN

Membaca al Qur’an di kuburan tidaklah disyari’atkan, tidak ada sunahnya, tidak pernah dilakukan oleh para shahabat ra dan pengikutnya! Aktivitas ini hanyalah kebiasaan yang tidak ada asal–usulnya. Pernyataan ini dikuatkan oleh beberapa alasan, di antaranya:

• Hadits–hadits tentang perintah dan faedah–faedah ziarah kubur mengisyaratkan kepada kita bahwa membaca al-Qur’an di kuburan tidak disyari’atkan.
• Seandainya membaca al-Qur’an di kuburan itu disyari’atkan maka pasti Rasulullah SAW melakukannya dan akan mengajarkannya kepada sahabatnya ra dan ajaran tersebut akan sampai kepada kita.
• Aisyah ra ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang bacaan yang dibaca ketika ziarah kubur, beliau menjawab bahwa yang dibaca adalah ucapan salam dan mendo’akan mayit, dan Rasulullah tidak mengajarinya bacaan al-Qur’an baik al-Fathihah atau selainnya.
• Agama Islam telah sempurna dengan wafatnya Rasulullah SAW, sehingga tidak mungkin Rasulullah SAW khianat dan menyembunyikan salah satu syari’at seperti anjuran membaca al-Qur’an di kuburan: ini pertanda bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan.
• Ada sebuah hadits:

“Dari Abu Hurairoh ra beliau berkata; “Rasulullah SAW bersabda: ’janganlah jadikan rumah-rumah kalian (laksana) kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan padanya surat al Baqarah.” (HR. Muslim: 2/188)

Hadits ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan membacakan al-Qur’an di rumah–rumah kita sekaligus dilarang menjadikan rumah–rumah kita laksana kuburan yang mana kuburan itu bukan tempat untuk membaca al-Qur’an.

3. HUKUM ASAL MENGIRIM PAHALA KEPADA MAYIT

Ketahuilah wahai saudara seiman, menghadiahkan pahala suatu ibadah kepda mayit, secara asal hukumnya tidak disyari’atkan baik itu sedekah, haji, umroh, sholat, atau puasa. Yang disyari’atkan bagi yang hidup adalah mendo’akan orang yang mati. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda:

“Apabila seorang mati maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendo’akannya.”(HR. Muslim: 1631)

Rasulullah SAW menunjukkan bahwa yang disyari’atkan bagi kita adalah mendo’akan orang yang telah mati. Beliau tidak memerintahkan kita untuk bersedekah, berhaji, berpuasa, berumroh, atau sholat bauat orang mati, maka dari sini kita ketahui bahwasanya semua amalan ini tidak dianjurkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

“sesungguhnya sudah menjadi hal yang ma’ruf bahwa kaum muslimin pada masa yang utama (generasi shahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in) melaksanakan ibadah kepada Allah dengan macam–macam ibadah yang disyari’atkan, baik yang wajib maupun sunah.
Mereka mendo’akan kaum mukminin dan mukminat baik yang masih hidup atau yang telah meninggal, sebagaimana perintah Allah.
Lalu beliau berkata: “dan bukan kebiasaan generasi salaf (Pendahulu), apabila mereka melakukan shalat sunnah, puasa sunnah, haji, atau membaca al-Qur’an, lalu mereka hadiahkan pahalanya kepada orang yang telah mati secara umum dan tidak pula dikhususkan bagi mereka. Maka tidak sepantasnya bagi manusia untuk berpaling dari jalan para salaf, karena sesungguhnya (jalan salaf) adalah paling afdhol dan paling sempurna.” (Majmu Fatawa: 24/322-323)

Firman Allah Ta'ala

38. (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
39. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
(QS. An-Najm: 38 – 39)

Al Hafizh Ibnu Katsir telah berkata di Dalam Mentafsirkan Ayat Diatas :

“Yaitu sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa–apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini (ayat An-Najm: 39), Imam Syafi’i dan ulama–ulama yang mengikutinya telah mengambil (kesimpulan) hukum, bahwa bacaan yang pahalanya di hadiahkan (dikirimkan) kepada mayit tidak dapat sampai, karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka.
Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah mensyari’atkan umatnya (untuk menghadiahkan) bacaan Al-Qur’an, kepada orang yang telah mati dan juga tidak pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan Nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai–sampai dalil isyarat pun tidak ada) dan tidak pernah dinukil (kutip) dari seorang pun sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah mati.
Kalau sekiranya perbuatan itu baik pasti para sahabat telah mendahului kita mengamalknya dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil (nash–nash) dan tidak boleh dipalingkan dengan berbagai macam qiyas dan ro’yu (pikiran) .
[Tafsir Ibnu Katsir (Juz : IV hal . 272) cet. Darus Salam dan Ahkamul Janna: 12. hlm 220 cet. Maktabah al-Ma’arif]

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaiman dinukil oleh az-Zubaidi dalam sarah Ihya Ulumuddin (x/369)
[Lihat Ahkamul Janaa-iz .hlm 220-221 cet. Maktabah Al-Ma’arif th. 1412 H]

Di Dalam Kitab Tafsir Jalalain di Sebutkan Demikian :

“Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha orang lain“ (tafsir Jalalain :2/197)
[Tafsir Jalalain (Juz 2 hal :197)]

Imam Muzani, Hamisyi Al-Um, Mengatakan:

Rosulullah SAW memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain
[Kitab al-Um karya Imam Syafi’i (juz: 7 hal. 269)]

Pendapat Imam Asy- Syafi’i رحمه الله . Sebagaimana Imam An- Nawawi Berkata:

Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) maka pendapat yang masyhur dari Madzab Syafi’i, tidak sampai kepada mayit yang dikirim.
Sedang dalil Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu Firman Allah ta’ala (yang artinya) “dan seseorang tidak akan memperoleh melainkan pahala usahanya sendiri “dan sabda Nabi SAW. (yang artinya)“ apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya (usahanya) kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh“ (laki-laki/perempuan) yang berdo’a untuknya (mayit)
[Syarah Muslim karya Imam an-Nawawi (juz;1 hlm.90)]

Juga imam Nawawi berkata:

“Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti sholatnya mayit tersebut menurut Imam Syafi’i dan Jumhurul Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan keterangan seperti ini telah di ulang–ulang oleh Imam an-Nawawi di dalam kitabnya syarah Muslim “ (As-Subki, Takmilatul Najmu, Syarah Muhadzab, juz.10, hlm 426)

imam Ibnu Hajar Al-Haitami Berkata :

“Mayit tidak boleh dibacakan apapun”!, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama Muttaqien (terdahulu) bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepadanya, karena pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkannya) perbuatan itu, berdasarkan Firman Allah (Yang artinya; “dan manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri”.
[al-Fatawal Kubro al-Fiqhiyah karya al-Haitami (juz: 2. Hlm. 9)]

Demikian antara berbagai pendapat ulama–ulama Syafi’iyah dan Jumhurul Ulama tentang acara tahlihlan atau acara pengiriman pahala bacaan kepada orang yang telah mati (mayit) yang ternyata mereka mempunyai satu pandangan, yaitu bahwa mengirimkan pahala bacaan kepada mayit itu adalah tidak dapat sampai kepada mayit/arwah yang dikirimi, lebih–lebih lagi kalau yang dibaca itu selain al-Qur’an, tentu saja akan lebih tidak sampai kepada mayit/arwah yang dikirimi.

Jika sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara–acara semacam itu adalah sia–sia belaka, atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya berbuat sia–sia dan tabdzir.
Adapun dasar hukum dari pendapat mereka itu adalah Firman Allah SWT dalam surat an-Najm ayat 39, dan hadits Nabi SAW tentang terputusnya amal manusia apabila ia telah meninggal dunia kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak yang sholeh, baik laki–laki maupun perempuan yang berdo’a untuk orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar