Manuskrip dari Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Sekalipun kami tak menyadari, saat kami berada di gurun pasir, kejadian-kejadian membayang kembali bagai gumpalan-gumpalan awan mengelilingi kami. Itu benar, kami jauh terseret ke lembah kesengsaraan yang amat dalam, cobaan-cobaan lain pun nampaknya akan segera menyusul, namun setitik harapan menghampar di hadapan kami. Hamzah dan Umar memeluk agama Islām.
Tunduknya hati kedua orang itu hingga memeluk Islām sungguh mengejutkan karena peristiwanya diawali dengan kegusaran dan wajah penuh kemarahan. Beginilah kisah yang dijalani Hamzah. Dia adalah paman Nabi, seorang laki-laki tinggi dan tegap yang disegani di segenap gurun pasir sebagai pemburu singa dan seorang pendekar perang. dalam pertempuran tak ada pedang yang lebih berat, tak ada tombak yang lebih cepat, tak ada panah yang lebih mematikan, kecuali senjata-senjata miliknya. Begitu juga dalam berburu, tak ada seorang pun yang lebih berani, lebih sigap langkahnya atau lebih peka penglihatan dan peciumannya dari Hamzah sang pemburu singa. Di luar keperkasaan Hamzah, terdapat kelembutan, Hamzah yang gagah adalah orang yang mampu menunggang kuda di padang bunga-bunga tanpa mematahkan setangkai bunga pun. Di saat-saat tertentu, ia senandungkan puisi dengan gaya kepahlawanan yang amat digemarinya.
Tak nampak sebersit pun kelembutan pada diri Hamzah kala di suatu hari dia menunggang kuda memasuki kota Makkah dan mendengar umpatan Abu Jahal bahwa Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] adalah seorang pendusta dan penipu. Saat itu Hamzah membawa singa mati dengan taring-taring giginya yang masih lengkap dan terikat di belakang kudanya, namun kehadirannya itu tak cukup menghentikan ocehan Abu Jahal. Abu Jahal tetap mengulang umpatannya dan itu berakibat buruk baginya. Hamzah dengan busur berburu di tangan kirinya, menyibak kerumunan orang seakan tak ada seorang pun di sana. Tak sepatah kata yang ia ucapkan, hanya bunyi pukulan punggung busur mengenai Abu Jahal hingga terpelanting dengan wajah yang berlumuran darah. Hamzah, sekalipun seorang penyair, namun ia bukan orang yang suka berdebat. Ia hanya menunjuk ke arah Ka’bah seraya mengangkat bahu dan berkata, “Ketika aku berburu di padang pasir di tengah malam aku tahu, Tuhan tidak berada di dalam rumah.” Sebuah tutur kata yang sederhana. Kemudian Hamzah berdiri tegap dengan kaki mengangkang, memandang semua yang hadir untuk beberapa saat. “Agama keponakanku adalah agamaku, Tuhannya adalah Tuhanku. Siapa yang berani, lawanlah aku!” Tak seorang pun yang bergerak kecuali menyisihkan jalan bagi Hamzah yang pergi menemui Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām].
Beberapa waktu kemudian, seorang laki-laki yang lain dengan pedang di tangan, dan nafsu membunuh dalam benaknya, berjalan cepat mencari Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām]. Dia ingin menamatkan Islām dengan satu tebasan. Dialah Umar ibn Khattāb yang tubuhnya begitu tinggi dan tampak tegap menjulang. Menurut kabar ia mampu menaiki unta dengan satu loncatan, yang memang sesuai dengan yang biasa ia lakukan karena ia seorang pemuda petualang yang penghidupannya dari menyelundupkan rempah-rempah dan batu mulia menyeberangi perbatasan dengan Bizantium. Ia mempunyai tingkah laku yang buruk seperti untanya.
Kala itu Nabi sedang berdoa di rumah Arqam, tanpa senjata, tanpa perlindungan, sewaktu Umar datang bergegas menelusuri jalan. Aku lari menemui Nabi untuk memberitahukannya, kukira ia akan panik ketakutan dengan kabar baru yang kubawa itu. Namun ia hampir tidak bergerak sedikit pun. “Tuhanlah yang menentukannya, kapan Umar menemuiku,” katanya.
Aku bisa memandang Umar melalui jendela, kilatan pedangnya yang terhunus, tubuhnya yang tinggi tegap akan membungkuk bila masuk rumah. “Tuhan telah menentukan,” gumamku, “untuk itu sekarang dia ada di sini.”
Mataku melayang ke segala arah mencari senjata namun tak satu pun yang kulihat selain sebelanga air mendidih di atas nyala api. Segera kugenggam periuk air itu untuk ditumpahkan di pintu. Nabi kemudian berdiri, nampaknya ia hedak menahan tindakanku daripada untuk melindungi dirinya sendiri. “Terima kasih Bilal” katanya, lalu diambilnya air mendidih itu dariku, “Seandainya saat ini adalah saat yang ditentukan Tuhan untukku, minyak mendidih sekalipun tak akan menolongku.” Setidaknya itulah ucapan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] yang masih tersisa dalam ingatanku, jangan terlalu mengharapkan dari ingatanku yang lemah. Karena sekarang ini apapun yang kau katakan sebagai ucapan Nabi akan menjadi ajaran agama.
Umar berada sekitar lima puluh langkah lagi dari pintu, atau kalau menurut ukuran langkahnya sekitar empat puluh langkah, tiba-tiba seorang lelaki tua maju menghampirinya. Kupikir ia adalah seorang pengemis, orang yang meminta-minta pada waktu yang tidak tepat. Karena sekalipun Umar sedang marah, ia dikenal sebagai orang yang murah hati. Namun saat itu ia tak memberikan apa-apa selain luapan kemarahannya. Ia angkat laki-laki tua itu dan mengguncangnya, mengumpat dan menyumpah semua wanita yang sudah mati terkubur bahwa ia akan membunuh wanita itu – ini sangat melegakanku sebab bukan membunuh Nabi. Lalu Umar serta merta berbalik ke arah mana ia datang seolah iblis sendiri yang menariknya.
Aku tahu bahwa kejadian itu belum berakhir. Umar tak pernah melakukan pekerjaan setengah-setengah, untuk membunuh Nabi sekalipun. Karena itu kutunggu dia dekat jendela dalam perasaan yang tidak menentu. Arqam telah datang – setidaknya sekarang kami bertiga – namun untuk menjaga keamanan aku memegang sesuatu di tanganku, aku raih air mendidih. Aku ingin memanggil Hamzah namun ia ada di tengah gurun. Kukira, kami berada dalam keadaan terkepung.
Sejam berlalu kulihat ia datang kembali menyusuri jalan dengan pedangnya yang masih terhunus. Tanpa diperintah aku bergegas menutupkan pintu dan menguncinya. Nabi menghampiriku dari belakang, “Mengapa pintu kau tutup Bilal?” tanyanya. “Untuk menyelamatkanmu dari pembunuhan, ya Nabi,” jawabku. Namun dia memandangku dengan pandangan yang sungguh-sungguh. “Seorang Nabi tak akan menutupkan pintunya Bilal. Bukalah jika engkau merasa takut kepada Tuhan.”
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] menanti di tengah ruangan. Aku dengar ujung pedang memukul daun pintu. Namun ramalan yang terbukti adalah ramalan terbaik. Kubuka pintu itu sebagaimana diperintahkan kepadaku. Umar membungkuk untuk dapat masuk. Aku tak bisa percaya dengan apa yang terjadi. Umar memandang ke arah wajah Nabi, ke arahku, ke arah Arqam, dan menunduk memandang pedangnya. Pergulatan batin terjadi dalam dirinya…kepedihan menyelimuti wajahnya. Ia membuka bajunya sebagaimana ia membuka hatinya. “Aku bersaksi tiada Tuhan selain ALLAH, dan aku bersaksi, engkau Muhammad, utusan ALLAH.”
Kejadian ini persis tatkala Isa mendapatkan Paulus, dan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] mendapatkan Umar. Sudah tentu bila kami berbicara mengenai “Pertaubatan” baik pada Paulus maupun Umar, kami kira lebih baik menyebutnya sebagai “revolusi”, karena kedua pertaubatan itu menimbulkan akibat yang sangat besar. Keduanya berangkat dengan api kemarahan yang membara. Umar hendak membunuh Nabi, Paulus hendak membunuh Isa. Bahkan sebagaimana cerita yang sampai kepadaku, Paulus sempat bergandengan dengan mereka yang membunuh Stefen, syuhāda pertama, yang merupakan perbuatan menyentuh api. Namun Tuhan menarik keduanya dari tepi neraka, dan menjadikannya pemimpin besar agama.
Sebagaimana yang kukisahkan, aku hanya melihat perubahan yang besar terjadi pada Umar, suatu permulaan yang teramat buruk dan berakhir dengan baik sekali. Aku tak melihat adanya mukjizat dalam kejadian yang berselang satu jam itu. Keterangan itu kudapatkan dari Khabbab, seorang pandai besi yang hadir di sana, seorang yang dapat dipercaya sebagaimana baja hasil tempaannya.
Laki-laki yang menghentikan Umar di tengah jalan itu bukan pengemis, sebagaimana dugaanku, melainkan pedagang anggur, karena Tuhan mengirimkan orang-orang munāfik dan pendosa sebagai penolong, setidaknya di saat engkau mengharapkannya.
“Kenapa kau hunus pedangmu?” tanya orang tua itu.
“Untuk membunuh orang sombong yang telah menempatkan dirinya di atas dewa-dewa,” jawab Umar.
“Pulanglah. Bunuhlah terlebih dulu adik perempuanmu,” jawab orang tua itu.
Jawaban orang tua itu sangat bijaksana pada saat yang tepat, dan Umar hanya setengah memahaminya, namun itu telah cukup memancing amarahnya sebagaimana kusaksikan dari seberang jendela. Umar sangat mencintai adik perempuannya namun orang tua itu telah menyuguhkan teka-teki yang membuat kegilaannya semakin gila.
Ia bergegas pulang dan mengintai dari balik pintu rumah adiknya. Ia mendengar suara dan menangkap kata-kata yang menurut pikirannya membingungkan. Dengan sekali terjang, ditendangnya pintu hingga rubuh. Seorang laki-laki setinggi tujuh kaki dengan pancaran kemurkaan yang sangat menakutkan dengan pedang terhunus yang berkelebat di atas kepalanya. Di dalam ia dapati saudarinya Fatimah, serta suaminya Said, dan saksi cerita ini Khabbab. Fatimah berusaha menyembunyikan carikan tulisan di bawah gaunnya. Kemudian Umar dengan keras menampar wajah adiknya, sehingga terjengkang, dirampasnya carikan tulisan itu di antara dua lutut adiknya.
Umar tak tahu menahu, dan hanya Nabi sendiri yang tahu, bahwa adiknya secara sembunyi-sembunyi telah menjadi pegikut ajaran Nabi. Apa yang kini digenggamnya adalah āyat Al Qur’ān, sūrah ke-20. Sūrah yang teramat indah dan penuh misteri sehingga tak satu orang pun dapat memberikan nama yang tepat untuknya. Tafsirnya biarlah tetap tersirat di āyat itu saja, karena terlalu sulit untuk diterjemahkan, dan di luar jangkauan syairmu.
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Umar berdiri dengan cabikan āyat di tangannya dan menatap adiknya yang berlindung di pelukan suaminya dengan cucuran darah di mukanya. Dibenturkanlah kepalanya ke dinding dalam balutan penyesalan. “Apa yang telah kau perbuat terhadapku?”, ia bertanya. Pertanyaan yang menggelikan sekaligus mengherankan. Fatimah yang telah belepotan darah, terlalu takut untuk menjawab. Kemudian Umar mengembalikan carikan tulisan itu kepada Fatimah sebagai permohonan maaf. “Bacalah untukku,” katanya, “jika ini dapat mengobati terkoyaknya persaudaraan kita, maka bacakan itu untukku.”
Namun jari tangan Fatimah kaku terkulai, oleh sebab itu Khabbab, seorang yang mampu menempa besi menjadi sebentuk sayap burung, mengambil carikan tersebut dan membacakannya. Begitu Umar mendengarnya, suatu pesona menyentuh relung hatinya. Diperhatikannya gerak bibir Khabbab, begitu takjubnya mendengar kalimat-kalimat ALLAH dilantunkan. Umar sendiri mengatakan kepadaku bahwa tiba-tiba ia terbenam dalam keharuan hingga bergetar seluruh tulang sumsumnya.
Demikianlah kisah takluknya hati Umar yang kini menjadi pemimpin ummat Islām.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar